USU

USU

Sabtu, 12 Januari 2013



Matriks Nilai Politik
I. Konservatif Esoteris
Konservatif esoteris adalah sistem nilai yang terbentuk dari dimensi esoteris sebagai sumber nilai dan dimensi konservatif sebagai cara yang ditempuh untuk mewujudkan nilai-nilai ideal dalam masyarakat. Sebagaimana dengan sistem nilai konservatif etis, individu dalam sistem nilai konservatif esoteris menempatkan tradisi, sejarah masa lalu suatu masyarakat pada posisi yang istimewa. Keberadaan tradisi dan kebiasaan yang mampu bertahan dalam waktu lama dalam masyarakat secara praktis menunjukan bahwa hal itu memiliki nilai manfaat bagi masyarakat.Sistem nilai ini tidak menolak perubahan sepanjang hal tersebut sejalan dengan sistem nilai dari masyarakat itu sendiri. Proses perubahan yang ideal seharusnya berlangsung secara gradual dan tidak memberikan goncangan yang mengganggu kestabilan kehidupan masyarakat.
Sistem nilai ini menolak pemujaan pada rasionalitas karena pada dasarnya manusia bukanlah mahluk yang sepenuhnya rasional. Pengetahuan dan informasi yang terbatas serta proses sosial dan kesejarahannya secara natural memberikan batas pada horison dari setiap individu dalam memahami dunia. Dalam konteks ini, tradisi dan kebiasaan yang sudah dijalani secara turun temurun menjadi pelengkap dari keterbatasan manusia. Nilai-nilai tradisi, agama, menjadi jadi sumber dari kebijaksanaan yang memberikan inspirasi tatanan dan pranata sosial yang seharusnya berlaku di masyarakat.
Keterikatan yang kuat pada tradisi dan sejarahnya membuat individu di dalam sistem nilai ini memahami konsep masyarakat, negara dan kepemimpinan dengan orientasi yang esoteristik. Masyarakat bukan sekedar kumpulan dari individu yang ada di dalamnya, melainkan sebuah artefak kultural yang muncul secara organis dari proses sosial yang panjang.
Demikian pula dengan konsep kepemimpinan yang merupakan salah satu artefak kultural yang terbangun sepanjang proses evolusi suatu masyarakat. Hubungan rakyat dan pemimpinnya tidak lagi sesederhana dalam teori demokrasi, tetapi menjadi penuh nuansa yang transendental, terkait konsep kebajikan, kebijaksanaan, keluruhan budi, dan kewibawaan dari seorang pemimpin. Sementara di sisi lain, kebajikan bagi rakyat adalah kepatuhan dan rasa hormat kepada pemimpinnya. Konsekuensinya, pembangkangan dan ketidakloyalan menjadi hal yang tidak patut untuk dilakukan. Dalam konteks ini, sistem nilai ini mentoleransi adanya ketidaksetaraan antar individu dan menerima konsep otoritas dan hirarki sosial sebagai produk natural dari sejarah masyarakat yang harus dihormati. Hal inilah yang membedakan sistem nilai ini dengan sistem nilai konservatif etis.
II. Konservatif Etis
Konservatif etis adalah sistem nilai yang terbentuk dari dimensi etis sebagai sumber nilai dan dimensi konservatif sebagai perspektif yang dipercayai dapat mewujudkan nilai-nilai ideal dalam bermasyarakat. Dimensi konservatif dari sistem nilai ini menekankan bahwa kebijaksanaan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik mesti bersumber pada nilai-nilai yang hakiki yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Eksistensi individu tidak dapat dipisahkan dalam konteks sistem nilai dari masyarakat di mana ia berada. Ini karena individu tumbuh dan memaknai kehidupannya di dalam konsteks sistem nilai tersebut. Dengan kata lain, dalam perspektif konservatif, konsepsi humanisme universal yang menjadi landasan dari bangunan filosofi progresif membuat individu teralienasi dari sistem sosialnya.
Demikian pula dengan kekhawatiran dari kelompok-kelompok religius yang memandang bahwa modernitas berdampak pada hilang dimensi spritual dari individu. Ini karena modernitas hanya menekankan pada otoritas nalar dan rasionalitas individu dalam kehidupannya. Namun ini tidak berarti penolakan terhadap semua aspek dari modenitas, karena respon kelompok konservatif religius terhadap modernitas juga beragam. Dalam konteks gerakan keagamaan di Indonesia, misalnya, kita mengenal kategori Islam tradisional dan Islam modernis. Islam modernis diidentifikasi sebagai aliran yang terbuka terhadap kemajuan kemajuan ilmu pengetahuan modern dan menganggap bahwa penggunaan akal dan prinsip-prinsip rasionalitas sesuatu yang inheren dari Islam.
Dimensi etis dalam sistem nilai ini membentuk pemahaman terkait konsep kepemimpinan, masyarakat dan negara yang berbeda dengan sistem nilai konservatif esoteris. Konsep otoritas dalam sistem nilai konservatif esoteris mempunyai tendensi sentralistik yang menuntut loyalitas yang absolut. Tidak demikian halnya dengan sistem nilai konservatif etis. Dalam Islam, misalnya, otoritas itu terdesentralisasi sedemikian rupa pada ulama dan tokoh agama. Sementara otoritas inipun terikat oleh aturan-aturan agama dimana kepatuhan adalah refleksi dari ketundukan pada otoritas spritual yang lebih tinggi di luar manusia.
Demikian pula halnya dengan persoalan loyalitas kepada negara. Islam, misalnya, selain memiliki dimensi keyakinan dan dimensi sosial keumatan dalam ritual peribadatan, juga memiliki dimensi politik terkait soal hukum dan etika yang mengatur relasi antar individu dalam masyarakat. Problem muncul ketika negara sebagai institusi yang berdaulat berdasarkan hukum dan konstitusi berbenturan dengan agama sebagai sebuah konsepsi politik kenegaraan. Ekspresinya bisa beragam, mulai dari keinginan mendirikan negara agama maupun penerapan hukum agama dalam masyarakat.
III. Progresif Esoteris
Progresif esoteris adalah sistem nilai yang merupakan perpaduan antara sumber nilai yang esoteris dan pendekatan progresif dalam mewujudkan nilai-nilai idealnya dalam masyarakat. Dimensi progresif mencirikan bahwa individu dengan sistem nilai mempunyai keterbukaan cara pandang. Prinsip-prinsip rasionalitas ilmu pengetahuan dan kritisisme menjadi landasan utama dari upaya untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan.
Tradisi tidak diabaikan karena memang setiap individu dibentuk oleh situasi masyarakatnya. Namun hukum perubahan yang tidak terhindarkan memacu individu untuk selalu memodernisasi dirinya, mengeksplorasi dan memanfaatkan hal baru untuk mewujudkan nilai idealitasnya. Hal ini yang membedakan dengan sistem nilai konservatif yang mempreservasi dan mencari kebijakan didalam tradisi sebagai landasan untuk memajukan masyarakat.
Individu dalam sistem nilai progresif esoteris dengan optimis memandang bahwa setiap orang pada dasarnya diberkahi kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Bahwa secara natural setiap orang mempunyai potensi dan kemampuan berbeda tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengabaikan prinsip persamaan dan kesetaraan antar individu. Prinsip kebebasan dan persamaan menjadi fondasi dari sistem nilai ini.
Sistem nilai ini juga menekankan pentingnya semangat kerja sama dan solidaritas sosial untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kepentingan bersama harus lebih diutamakan daripada kepentingan individual. Prinsipnya, mensejahterakan masyarakat berarti mensejahterakan individu yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, negara sebagai representasi kolektif seluruh rakyat melayani kepentingan masyarakat, bukan individu. Hal ini yang membedakan sistem nilai progresif esoteris dengan sistem nilai progresif etis.
Sistem nilai ini merupakan varian ekstrim dari sistem nilai progresif esoteris. Karakteristik utamanya adalah penekanan yang kuat pada konsep kesetaraan dan kolektivitas individu dalam masyarakat. Dalam menjalani kehidupannya, individu akan saling membutuhkan dan oleh karena itu butuh saling bekerja sama untuk kepentingannya sendiri. Sistem nilai menganggap bahwa apapun yang menjadi produk hasil kerja sama antar individu merupakan produk sosial yang dimiliki bersama dan setiap orang yang terlibat berhak atas pembagian yang sama. Oleh karena itu, distribusi kekayaan berserta semua sumber-sumber ekonomi adalah jalan untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan.
Visi masyarakat idealnya adalah suatu tatanan masyarakat yang sejahtera atas dasar kemerdekaan rakyat dari segala hambatan yang diakibatkan oleh ketidakmerataan distribusi sumber daya ekonomi. Dalam hal ini, solidaritas dan tumbuhnya semangat kerjasama dalam masyarakat menjadi hal yang vital untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Namun berbeda dengan konsep solidaritas dalam perspektif konservatif, solidaritas dalam sistem nilai adalah kolektivitas antar individu yang bebas atas dasar kesetaraan hubungan kekuasaan. Kesenjangan apapun bentuknya merupakan sumber dari permasalahan.
Kerja sama dan solidaritas sosial akan dapat dimunculkan dengan adanya kekuasaan negara yang kuat. Sistem nilai ini memberikan legitimasi moral pada kekuasaan negara untuk mewujudkan model ideal masyarakat yang dicita-citakan. Pemerintah bertindak aktif melakukan perencanaan dan pengaturan kehidupan sosial ekonomi dan politik, menyesuaikan produksi sesuai kebutuhan masyarakat, membagi pekerjaan untuk diselesaikan oleh semua yang mampu bekerja dan mengatur distribusi dan alokasi sumber daya untuk menjamin terwujudnya kesetaraan dan terpenuhinya hak kesejahteraan rakyat.
IV. Progresif Etis
Progresif etis adalah sistem nilai yang merupakan perpaduan antara perspetif etis dalam memandang sistem sosial dan pendekatan yang progresif untuk mewujudkan nilai-nilai ideal dalam masyarakat. Dimensi progresif dari sistem nilai ini melandasi cita-cita tentang masyarakat yang bebas atas dasar penghormatan pada hak-hak individual. Seperti halnya dengan sistem nilai progresif yang esoteris, prinsip rasionalitas ilmu pengetahuan dan kritisisme menjadi landasan utama dari upaya untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan.
Dalam sistem nilai ini, tradisi dan keyakinan tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia. Keterbukaan terhadap hal-hal baru menjadikan tradisi tidak lagi bersifat dogmatis melainkan selalu terbuka terhadap penafsiran ulang. Sistem nilai ini menyokong sepenuhnya penggunaan prinsip-prinsip rasionalitan saintifik dan kritisisme sebagai alat untuk mengeksplorasi pengetahuan dalam kerangka pencarian jawaban atas berbagai problem manusia dan kemanusiaan.
Individu dalam sistem nilai progresif etis menekankan prinsip kebebasan sebagai nilai yang utama. Bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan hal yang terbaik untuk dirinya dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya. Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, segala bentuk intervensi yang dapat menghambat upaya manusia untuk mengembangkan potensi dirinya harus dihilangkan.
Hal ini mengantarkan pada perspektif etis terhadap masyarakat dan negara. Pada dasarnya, titik pusat dalam kehidupan sosial adalah individu. Agar supaya kebebasan dan kemerdekaan individu tetap terjamin maka harus dibentuk undang-undang, hukum, parlemen, dan sebagainya. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun, dan atas kehendak individu suatu negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, proses sosial yang terjadi maupun institusi sosial yang terbentuk harus berdasarkan pada penghormatan kepada kebebasan dan kemerdekaan individu. Dimensi etis inilah yang membedakan sistem nilai progresif etis dengan sistem nilai progresif esoteris.

BUDAYA POLITIK
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitnya. Seperti juga di indonesia.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis,
1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan adat istiadat, Takhayul, dan mitos. Semuanya dikenal dan diakui oleh sebagai besar masyarakat.
2. budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generik. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisa bentuk, peranan, ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup.
3. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang mendasari suatu pandangan hidup yang berhubungan masalah tujuan.
4. Bentuk budaya politik menyagkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militasi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.
Pengertian budaya politik di atas tampaknya membawa kita pada suatu konsep yang memedukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Orientasi yang bersifat individual ini tidak berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak kearah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini memiliki aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat yang secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.

Adapun Pengertian Budaya Politik menurut para tokoh adalah sebagai berikut :
·         Albert Widjaya
Budaya Politik adalah aspek politik dari system nilai-nilai yang terdiri dari ide, pengetahuan, adat-istiadat, tahayul, dan mythos (250). Menurut Albert Wijaya, semua aspek politik dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya Politik member rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
·         Almond dan Verba
Budaya Politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga Negara yang ada dalam system itu.
·         Rusadi Sumintapura
Budaya Politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh anggota suatu system Politik.
·         Sidney Verba
Budaya Politik adalah suatu system kepercayaan empiric, symbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegakkan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
·         Alan R Ball
Budaya Politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan system politik dan isu-isu politik.
·         Austin Ranney
Budaya Politik adalah seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama, sebuah pola orientasi terhadap objek-objek politik.
·         Gabriel A Almond dan G Bingham Powell,Jr.
Budaya Politik berisikan sikap, keyakinan, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.


Batasan Budaya Politik
Dari pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, ada sebuah benang merah yang bisa disimpulkan untuk menunjukkan batasan mengenai konsep budaya politik. Beberapa batasan budaya politik tersebut diantaranya adalah :
Budaya politik adalah sebuah konsep yang lebih menekankan pada masalah perilaku non aktual seperti pandangan hidup, sikap serta nilai dan kepercayaan. Hal ini lebih dominan daripada aspek tindakan. Inilah mengapa Gabriel A. Almond menyimpulkan bahwa budaya politik merupakan sisi psikologis dalam sistem politik. Dimana budaya politik ini perannya sangat penting dalam proses perjalanan sebuah sistem politik.
Budaya politik lekat identik dengan sistem politik. Hal ini ditunjukkan dengan bukti bahwa pada saat budaya politik ini dibahas, maka tidak akan bisa terlepas dari pembahasan mengenai sistem politik. Dalam sistem politik itu sendiri berorientasi pada setiap komponen yang berasal dari komponen struktur, sekaligus juga fungsi yang dijalankan dalam sebuah sistem politik itu sendiri. Setiap orang akan memiliki orientasi yang berbeda dalam sebuah sistem politik, dimana mereka akan memilih fokus orientasi pada sistem itu sendiri. Seperti misalnya seseorang akan memiliki orientasi politik tersendiri jika mereka berbicara tentang lembaga legislatif, eksekutif atau juga yudikatif.
Budaya politik adalah sebuah gambaran konsep yang merepresentasikan mengenai komponen budaya politik dalam batasan besar. Bisa juga menggambarkan mengenai kehidupan masyarakat pada sebuah negara atau kawasan, dan tidak melihatnya secara parsial atau individu. Batasan ini terkait dengan pengertian budaya politik sebagai sebuah cermin perilaku masyarakat secara massal yang berperan dalam proses penciptaan sistem politik yang ideal.
Komponen-Komponen Budaya Politik
Almond dan Powell mengatakan bahwa budaya politik adalah sebuah dimensi psikologis yang berada pada sebuah sistem politik. Penjelasan akan pernyataan ini dikemukakan oleh Ranney yang mengatakan bahwa kondisi ini terjadi karena budaya politik berada dalam satu lingkup psikologis yang mendukung terselenggaranya konflik politik. Dan oleh karenanya, terjadi sebuah proses pembuatan kebijakan politik. Karena demikian kondisinya, maka komponen yang menjadi bagian budaya politik terdiri dari beberapa unsur psikis masyarakat yang dibagi ke dalam beberapa unsur kategori.
Dijelaskan pula oleh Ranney, bahwa sebenarnya ditemukan dua komponen utama yang terdapatdalam budaya politik. Dua komponen utama tersebut yaitu orientasi kognitif dan juga orientasi afektif. Di sisi lain, Almond dan Verba menyatakan secara lebih terperinci mengenai konsep yang dirumuskan Parsons dan Shils. Parsons dan Shils menjelaskan mengenai beberapa klasifikasi tipe orientasi. Menurut Almond dan Verba terdapat tiga komponen obyek dalam budaya politik. Ketiganya yaitu :
Orientasi Kognitif
Orientasi ini bersumber pada segala macam pengetahuan serta kepercayaan yang ada pada politik, peranan beserta kewajiban yang menyertainya. Hal ini mencakup komponen input dan output.
Orientasi Afektif
Orientasi ini mengacu pada perasaan seseorang atas sistem politik, peran, pelaku politik serta bagaimana mereka menyajikan penampilan dalam sistem politik yang ada.
Orientasi Evaluatif
Orientasi ini mengacu pada keputusan dan anggapan mengenai obyek politik yang khusus melibatkan kriteria dan patokan tertentu yang didasarkan pada sistem informasi berbasis data yang digabungkan dengan nilai rasa.

TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
Mengenali budaya politik, secara garis besar dibagi menjadi dua. Dimana dari dua bagian besar tersebut, masih memiliki beberapa tipe lagi yang menunjukkan karakteristik budaya politik tersebut.
1. Budaya Politik yang didasarkan pada sikap yang ditunjukkan. Disini budaya politik terbagi menjadi empat tipe. Yaitu :

1.      Budaya Politik Militan
2.      Budaya Politik Toleransi
3.      Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
4.      Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

2. Budaya politik yang didasarkan pada orientasi politik. Dalam kelompok ini, budaya politik terbagi menjadi tiga tipe, yaitu :
1.      Budaya politik parokial
2.      Budaya politik kaula
3.      Budaya politik partisipan



PERILAKU POLITIK

Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah  tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti ( 1992 : 131 ), mengemukakan bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik.
Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya.
Perilaku politik  meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu ( Fadillah Putra, 2003 : 200 ). Sedangkan sikap politik adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu.  Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar