Matriks Nilai Politik
I.
Konservatif Esoteris
Konservatif
esoteris adalah sistem nilai yang terbentuk dari dimensi esoteris sebagai
sumber nilai dan dimensi konservatif sebagai cara yang ditempuh untuk
mewujudkan nilai-nilai ideal dalam masyarakat. Sebagaimana dengan sistem nilai
konservatif etis, individu dalam sistem nilai konservatif esoteris menempatkan
tradisi, sejarah masa lalu suatu masyarakat pada posisi yang istimewa.
Keberadaan tradisi dan kebiasaan yang mampu bertahan dalam waktu lama dalam
masyarakat secara praktis menunjukan bahwa hal itu memiliki nilai manfaat bagi
masyarakat.Sistem nilai ini tidak menolak perubahan sepanjang hal tersebut
sejalan dengan sistem nilai dari masyarakat itu sendiri. Proses perubahan yang
ideal seharusnya berlangsung secara gradual dan tidak memberikan goncangan yang
mengganggu kestabilan kehidupan masyarakat.
Sistem
nilai ini menolak pemujaan pada rasionalitas karena pada dasarnya manusia
bukanlah mahluk yang sepenuhnya rasional. Pengetahuan dan informasi yang
terbatas serta proses sosial dan kesejarahannya secara natural memberikan batas
pada horison dari setiap individu dalam memahami dunia. Dalam konteks ini,
tradisi dan kebiasaan yang sudah dijalani secara turun temurun menjadi
pelengkap dari keterbatasan manusia. Nilai-nilai tradisi, agama, menjadi jadi
sumber dari kebijaksanaan yang memberikan inspirasi tatanan dan pranata sosial
yang seharusnya berlaku di masyarakat.
Keterikatan
yang kuat pada tradisi dan sejarahnya membuat individu di dalam sistem nilai
ini memahami konsep masyarakat, negara dan kepemimpinan dengan orientasi yang
esoteristik. Masyarakat bukan sekedar kumpulan dari individu yang ada di
dalamnya, melainkan sebuah artefak kultural yang muncul secara organis dari
proses sosial yang panjang.
Demikian
pula dengan konsep kepemimpinan yang merupakan salah satu artefak kultural yang
terbangun sepanjang proses evolusi suatu masyarakat. Hubungan rakyat dan
pemimpinnya tidak lagi sesederhana dalam teori demokrasi, tetapi menjadi penuh
nuansa yang transendental, terkait konsep kebajikan, kebijaksanaan, keluruhan
budi, dan kewibawaan dari seorang pemimpin. Sementara di sisi lain, kebajikan
bagi rakyat adalah kepatuhan dan rasa hormat kepada pemimpinnya.
Konsekuensinya, pembangkangan dan ketidakloyalan menjadi hal yang tidak patut
untuk dilakukan. Dalam konteks ini, sistem nilai ini mentoleransi adanya
ketidaksetaraan antar individu dan menerima konsep otoritas dan hirarki sosial
sebagai produk natural dari sejarah masyarakat yang harus dihormati. Hal inilah
yang membedakan sistem nilai ini dengan sistem nilai konservatif etis.
II.
Konservatif Etis
Konservatif
etis adalah sistem nilai yang terbentuk dari dimensi etis sebagai sumber nilai
dan dimensi konservatif sebagai perspektif yang dipercayai dapat mewujudkan
nilai-nilai ideal dalam bermasyarakat. Dimensi konservatif dari sistem nilai
ini menekankan bahwa kebijaksanaan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi,
dan politik mesti bersumber pada nilai-nilai yang hakiki yang ada dalam
masyarakat itu sendiri. Eksistensi individu tidak dapat dipisahkan dalam
konteks sistem nilai dari masyarakat di mana ia berada. Ini karena individu
tumbuh dan memaknai kehidupannya di dalam konsteks sistem nilai tersebut.
Dengan kata lain, dalam perspektif konservatif, konsepsi humanisme universal
yang menjadi landasan dari bangunan filosofi progresif membuat individu
teralienasi dari sistem sosialnya.
Demikian
pula dengan kekhawatiran dari kelompok-kelompok religius yang memandang bahwa
modernitas berdampak pada hilang dimensi spritual dari individu. Ini karena
modernitas hanya menekankan pada otoritas nalar dan rasionalitas individu dalam
kehidupannya. Namun ini tidak berarti penolakan terhadap semua aspek dari
modenitas, karena respon kelompok konservatif religius terhadap modernitas juga
beragam. Dalam konteks gerakan keagamaan di Indonesia, misalnya, kita mengenal
kategori Islam tradisional dan Islam modernis. Islam modernis diidentifikasi
sebagai aliran yang terbuka terhadap kemajuan kemajuan ilmu pengetahuan modern
dan menganggap bahwa penggunaan akal dan prinsip-prinsip rasionalitas sesuatu
yang inheren dari Islam.
Dimensi
etis dalam sistem nilai ini membentuk pemahaman terkait konsep kepemimpinan,
masyarakat dan negara yang berbeda dengan sistem nilai konservatif esoteris.
Konsep otoritas dalam sistem nilai konservatif esoteris mempunyai tendensi
sentralistik yang menuntut loyalitas yang absolut. Tidak demikian halnya dengan
sistem nilai konservatif etis. Dalam Islam, misalnya, otoritas itu terdesentralisasi
sedemikian rupa pada ulama dan tokoh agama. Sementara otoritas inipun terikat
oleh aturan-aturan agama dimana kepatuhan adalah refleksi dari ketundukan pada
otoritas spritual yang lebih tinggi di luar manusia.
Demikian
pula halnya dengan persoalan loyalitas kepada negara. Islam, misalnya, selain
memiliki dimensi keyakinan dan dimensi sosial keumatan dalam ritual
peribadatan, juga memiliki dimensi politik terkait soal hukum dan etika yang
mengatur relasi antar individu dalam masyarakat. Problem muncul ketika negara
sebagai institusi yang berdaulat berdasarkan hukum dan konstitusi berbenturan
dengan agama sebagai sebuah konsepsi politik kenegaraan. Ekspresinya bisa
beragam, mulai dari keinginan mendirikan negara agama maupun penerapan hukum
agama dalam masyarakat.
III.
Progresif Esoteris
Progresif
esoteris adalah sistem nilai yang merupakan perpaduan antara sumber nilai yang
esoteris dan pendekatan progresif dalam mewujudkan nilai-nilai idealnya dalam
masyarakat. Dimensi progresif mencirikan bahwa individu dengan sistem nilai
mempunyai keterbukaan cara pandang. Prinsip-prinsip rasionalitas ilmu
pengetahuan dan kritisisme menjadi landasan utama dari upaya untuk membangun
masyarakat yang dicita-citakan.
Tradisi
tidak diabaikan karena memang setiap individu dibentuk oleh situasi
masyarakatnya. Namun hukum perubahan yang tidak terhindarkan memacu individu
untuk selalu memodernisasi dirinya, mengeksplorasi dan memanfaatkan hal baru
untuk mewujudkan nilai idealitasnya. Hal ini yang membedakan dengan sistem
nilai konservatif yang mempreservasi dan mencari kebijakan didalam tradisi
sebagai landasan untuk memajukan masyarakat.
Individu
dalam sistem nilai progresif esoteris dengan optimis memandang bahwa setiap
orang pada dasarnya diberkahi kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya.
Bahwa secara natural setiap orang mempunyai potensi dan kemampuan berbeda tidak
bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengabaikan prinsip persamaan dan
kesetaraan antar individu. Prinsip kebebasan dan persamaan menjadi fondasi dari
sistem nilai ini.
Sistem
nilai ini juga menekankan pentingnya semangat kerja sama dan solidaritas sosial
untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kepentingan bersama
harus lebih diutamakan daripada kepentingan individual. Prinsipnya,
mensejahterakan masyarakat berarti mensejahterakan individu yang ada di
dalamnya. Oleh karena itu, negara sebagai representasi kolektif seluruh rakyat
melayani kepentingan masyarakat, bukan individu. Hal ini yang membedakan sistem
nilai progresif esoteris dengan sistem nilai progresif etis.
Sistem
nilai ini merupakan varian ekstrim dari sistem nilai progresif esoteris.
Karakteristik utamanya adalah penekanan yang kuat pada konsep kesetaraan dan
kolektivitas individu dalam masyarakat. Dalam menjalani kehidupannya, individu
akan saling membutuhkan dan oleh karena itu butuh saling bekerja sama untuk
kepentingannya sendiri. Sistem nilai menganggap bahwa apapun yang menjadi
produk hasil kerja sama antar individu merupakan produk sosial yang dimiliki
bersama dan setiap orang yang terlibat berhak atas pembagian yang sama. Oleh
karena itu, distribusi kekayaan berserta semua sumber-sumber ekonomi adalah
jalan untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan.
Visi
masyarakat idealnya adalah suatu tatanan masyarakat yang sejahtera atas dasar
kemerdekaan rakyat dari segala hambatan yang diakibatkan oleh ketidakmerataan
distribusi sumber daya ekonomi. Dalam hal ini, solidaritas dan tumbuhnya
semangat kerjasama dalam masyarakat menjadi hal yang vital untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama. Namun berbeda dengan konsep solidaritas dalam perspektif
konservatif, solidaritas dalam sistem nilai adalah kolektivitas antar individu
yang bebas atas dasar kesetaraan hubungan kekuasaan. Kesenjangan apapun
bentuknya merupakan sumber dari permasalahan.
Kerja
sama dan solidaritas sosial akan dapat dimunculkan dengan adanya kekuasaan
negara yang kuat. Sistem nilai ini memberikan legitimasi moral pada kekuasaan
negara untuk mewujudkan model ideal masyarakat yang dicita-citakan. Pemerintah
bertindak aktif melakukan perencanaan dan pengaturan kehidupan sosial ekonomi
dan politik, menyesuaikan produksi sesuai kebutuhan masyarakat, membagi
pekerjaan untuk diselesaikan oleh semua yang mampu bekerja dan mengatur
distribusi dan alokasi sumber daya untuk menjamin terwujudnya kesetaraan dan
terpenuhinya hak kesejahteraan rakyat.
IV.
Progresif Etis
Progresif
etis adalah sistem nilai yang merupakan perpaduan antara perspetif etis dalam
memandang sistem sosial dan pendekatan yang progresif untuk mewujudkan
nilai-nilai ideal dalam masyarakat. Dimensi progresif dari sistem nilai ini
melandasi cita-cita tentang masyarakat yang bebas atas dasar penghormatan pada
hak-hak individual. Seperti halnya dengan sistem nilai progresif yang esoteris,
prinsip rasionalitas ilmu pengetahuan dan kritisisme menjadi landasan utama
dari upaya untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan.
Dalam
sistem nilai ini, tradisi dan keyakinan tidak dianggap sebagai kunci penting
dalam memahami dunia. Keterbukaan terhadap hal-hal baru menjadikan tradisi
tidak lagi bersifat dogmatis melainkan selalu terbuka terhadap penafsiran
ulang. Sistem nilai ini menyokong sepenuhnya penggunaan prinsip-prinsip rasionalitan
saintifik dan kritisisme sebagai alat untuk mengeksplorasi pengetahuan dalam
kerangka pencarian jawaban atas berbagai problem manusia dan kemanusiaan.
Individu
dalam sistem nilai progresif etis menekankan prinsip kebebasan sebagai nilai
yang utama. Bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan hal yang
terbaik untuk dirinya dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya. Bahwa
manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan. Oleh
karena itu, segala bentuk intervensi yang dapat menghambat upaya manusia untuk
mengembangkan potensi dirinya harus dihilangkan.
Hal
ini mengantarkan pada perspektif etis terhadap masyarakat dan negara. Pada
dasarnya, titik pusat dalam kehidupan sosial adalah individu. Agar supaya
kebebasan dan kemerdekaan individu tetap terjamin maka harus dibentuk
undang-undang, hukum, parlemen, dan sebagainya. Karena ada individu maka
masyarakat dapat tersusun, dan atas kehendak individu suatu negara dapat terbentuk.
Oleh karena itu, proses sosial yang terjadi maupun institusi sosial yang
terbentuk harus berdasarkan pada penghormatan kepada kebebasan dan kemerdekaan
individu. Dimensi etis inilah yang membedakan sistem nilai progresif etis
dengan sistem nilai progresif esoteris.
BUDAYA POLITIK
Budaya politik merupakan sistem
nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan
para elitnya. Seperti juga di indonesia.
Berikut
ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk lebih memahami secara teoritis,
1. Budaya politik adalah aspek
politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan adat istiadat, Takhayul,
dan mitos. Semuanya dikenal dan diakui oleh sebagai besar masyarakat.
2. budaya politik dapat dilihat dari
aspek doktrin dan aspek generik. Yang pertama menekankan pada isi atau materi,
seperti sosialisme, demokrasi, nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)
menganalisa bentuk, peranan, ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis,
terbuka atau tertutup.
3. Hakikat dan ciri budaya politik
yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang mendasari suatu
pandangan hidup yang berhubungan masalah tujuan.
4. Bentuk budaya politik menyagkut
sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militasi seseorang
terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.
Pengertian
budaya politik di atas tampaknya membawa kita pada suatu konsep yang memedukan
dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Orientasi yang
bersifat individual ini tidak berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya
kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak kearah individualisme. Jauh
dari anggapan yang demikian, pandangan ini memiliki aspek individu dalam
orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat
yang secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
Adapun Pengertian Budaya Politik
menurut para tokoh adalah sebagai berikut :
·
Albert
Widjaya
Budaya
Politik adalah aspek politik dari system nilai-nilai yang terdiri dari ide,
pengetahuan, adat-istiadat, tahayul, dan mythos (250). Menurut Albert Wijaya,
semua aspek politik dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya
Politik member rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
·
Almond
dan Verba
Budaya
Politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga Negara terhadap system
politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga Negara yang
ada dalam system itu.
·
Rusadi
Sumintapura
Budaya
Politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan
politik yang dihayati oleh anggota suatu system Politik.
·
Sidney
Verba
Budaya
Politik adalah suatu system kepercayaan empiric, symbol-simbol ekspresif dan
nilai-nilai yang menegakkan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
·
Alan
R Ball
Budaya
Politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan
nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan system politik dan isu-isu
politik.
·
Austin
Ranney
Budaya
Politik adalah seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan yang
dipegang secara bersama-sama, sebuah pola orientasi terhadap objek-objek politik.
·
Gabriel
A Almond dan G Bingham Powell,Jr.
Budaya
Politik berisikan sikap, keyakinan, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi
seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada
bagian-bagian tertentu dari populasi.
Batasan Budaya Politik
Dari
pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, ada sebuah benang merah yang
bisa disimpulkan untuk menunjukkan batasan mengenai konsep budaya politik.
Beberapa batasan budaya politik tersebut diantaranya adalah :
Budaya
politik adalah sebuah konsep yang lebih menekankan pada masalah perilaku non
aktual seperti pandangan hidup, sikap serta nilai dan kepercayaan. Hal ini
lebih dominan daripada aspek tindakan. Inilah mengapa Gabriel A. Almond
menyimpulkan bahwa budaya politik merupakan sisi psikologis dalam sistem
politik. Dimana budaya politik ini perannya sangat penting dalam proses
perjalanan sebuah sistem politik.
Budaya
politik lekat identik dengan sistem politik. Hal ini ditunjukkan dengan bukti
bahwa pada saat budaya politik ini dibahas, maka tidak akan bisa terlepas dari
pembahasan mengenai sistem politik. Dalam sistem politik itu sendiri
berorientasi pada setiap komponen yang berasal dari komponen struktur,
sekaligus juga fungsi yang dijalankan dalam sebuah sistem politik itu sendiri.
Setiap orang akan memiliki orientasi yang berbeda dalam sebuah sistem politik,
dimana mereka akan memilih fokus orientasi pada sistem itu sendiri. Seperti
misalnya seseorang akan memiliki orientasi politik tersendiri jika mereka berbicara
tentang lembaga legislatif, eksekutif atau juga yudikatif.
Budaya
politik adalah sebuah gambaran konsep yang merepresentasikan mengenai komponen
budaya politik dalam batasan besar. Bisa juga menggambarkan mengenai kehidupan
masyarakat pada sebuah negara atau kawasan, dan tidak melihatnya secara parsial
atau individu. Batasan ini terkait dengan pengertian budaya politik sebagai
sebuah cermin perilaku masyarakat secara massal yang berperan dalam proses
penciptaan sistem politik yang ideal.
Komponen-Komponen Budaya Politik
Almond
dan Powell mengatakan bahwa budaya politik adalah sebuah dimensi psikologis
yang berada pada sebuah sistem politik. Penjelasan akan pernyataan ini
dikemukakan oleh Ranney yang mengatakan bahwa kondisi ini terjadi karena budaya
politik berada dalam satu lingkup psikologis yang mendukung terselenggaranya
konflik politik. Dan oleh karenanya, terjadi sebuah proses pembuatan kebijakan
politik. Karena demikian kondisinya, maka komponen yang menjadi bagian budaya
politik terdiri dari beberapa unsur psikis masyarakat yang dibagi ke dalam
beberapa unsur kategori.
Dijelaskan
pula oleh Ranney, bahwa sebenarnya ditemukan dua komponen utama yang
terdapatdalam budaya politik. Dua komponen utama tersebut yaitu orientasi kognitif
dan juga orientasi afektif. Di sisi lain, Almond dan Verba menyatakan secara
lebih terperinci mengenai konsep yang dirumuskan Parsons dan Shils. Parsons dan
Shils menjelaskan mengenai beberapa klasifikasi tipe orientasi. Menurut Almond
dan Verba terdapat tiga komponen obyek dalam budaya politik. Ketiganya yaitu :
Orientasi Kognitif
Orientasi
ini bersumber pada segala macam pengetahuan serta kepercayaan yang ada pada
politik, peranan beserta kewajiban yang menyertainya. Hal ini mencakup komponen
input dan output.
Orientasi Afektif
Orientasi
ini mengacu pada perasaan seseorang atas sistem politik, peran, pelaku politik
serta bagaimana mereka menyajikan penampilan dalam sistem politik yang ada.
Orientasi Evaluatif
Orientasi
ini mengacu pada keputusan dan anggapan mengenai obyek politik yang khusus
melibatkan kriteria dan patokan tertentu yang didasarkan pada sistem informasi
berbasis data yang digabungkan dengan nilai rasa.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
Mengenali
budaya politik, secara garis besar dibagi menjadi dua. Dimana dari dua bagian
besar tersebut, masih memiliki beberapa tipe lagi yang menunjukkan
karakteristik budaya politik tersebut.
1.
Budaya Politik yang didasarkan pada sikap yang ditunjukkan. Disini budaya
politik terbagi menjadi empat tipe. Yaitu :
1. Budaya Politik Militan
2. Budaya Politik Toleransi
3. Budaya Politik Yang memiliki Sikap
Mental Absolut
4. Budaya Politik Yang memiliki Sikap
Mental Akomodatif
2.
Budaya politik yang didasarkan pada orientasi politik. Dalam kelompok ini,
budaya politik terbagi menjadi tiga tipe, yaitu :
1. Budaya politik parokial
2. Budaya politik kaula
3. Budaya politik partisipan
PERILAKU POLITIK
Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan
atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti (
1992 : 131 ), mengemukakan bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik.
Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku
secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain
seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi,
perilaku keagamaan dan lain sebagainya.
Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti
persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti
pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan
gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu
hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu (
Fadillah Putra, 2003 : 200 ). Sedangkan sikap politik adalah merupakan hubungan
atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang
untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu.
Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis
masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian
politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat,
baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak stabilan politik, janji
politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati
dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar